Minggu, 27 Mei 2012

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN (Transformasi menuju partisipasi politik)



A.   Batasan Dan Kedudukan Perempuan.
Perempuan atau wanita menurut pandangan sejarah  memainkan banyak peran di Masyarakat. Perempuan dapat berperan sebagai ibu, istri, petani, buruh, guru, birokrat, pengelola perusahaan maupun pejabat pemerintah merupakan bukti nyata bahwa keberadaan perempuan dalam beberapa segi sudah dapat disejajarkan dengan laki-laki. Negara juga menjamin persamaan hak dalam hukum dan pemerintahan, hal ini menunjukkan di negeri ini tidak ada diskriminatif  berdasarkan gender.
Perempuan sebagai warga negara mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki di segala bidang kehidupan bangsa dan segenap kegiatan pembangunan. Namun demikian perlu diingat bahwa partisipasi dan sumbangan terhadap pembangunan bangsa harus sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya sebagai perempuan.
Harus diakui bahwa keberadaan perempuan dalam kancah politik di Indonesia pada saat ini belum signifikan. Perempuan dalam gerakan politik di Indonesia tidak begitu terdengar gaungnya, hal inilah yang menjadikan kaum perempuan seolah-olah “dimarjinalkan” dalam bidang politik. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah antusiaisme perempuan dalam bidang politik relatif sangat rendah, hal ini terlihat dari belum sepenuhnya terpenuhi kuota 30% perempuan yang duduk di lembaga legislatif utamanya di tingkat propinsi dan kabupaten ataupun pada lembaga-lembaga Negara lainnya. Padahal seperti kita ketahui bersama, penduduk Indonesia relatif lebih banyak wanita dibandingkan dengan kaum laki-laki.
Masih sedikitnya jumlah kaum perempuan yang terjun dalam kancah politik menjadikan kepentingan kaum perempuan seringkali tidak tersuarakan. Hal ini menjadikan perempuan “seolah-olah” penduduk kelas kelas dua di negeri yang sedang belajar berdemokrasi (Indonesia). Pemahaman yang keliru tentang konsep politik merupakan salah satu sebab kurangnya partisipasi politik oleh kaum perempuan.
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa kedudukan perempuan dalam bidang politik masih relatif sangat lemah. Perempuan-perempuan Indonesia mayoritas masih cenderung menjadi obyek politik, daripada menjadi subyek politik. Oleh karena itu meskipun secara teori tidak ada diskriminatif gender dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk didalamnya dalam hal berpolitik, tetapi kenyataannya kaum laki-laki masih relatif dominan dalam kehidupan politik dibandingkan dengan perempuan.
B.   Pemberdayaan Perempuan Dalam Bidang Politik.
Pada saat ini harus diakui meskipun emasipasi perempuan telah dibuka lebar, tetapi masih ada ketidakberdayaan (empowering) perempuan khususnya dalam bidang politik. Hal ini terkait erat dengan kedudukan perempuan dalam masyarakat tradisional, dimana perempuan ditempatkan untuk mengelola urusan-urusan keluarga, atau sebagai pekerja untuk menghasilkan sesuatu yang produktif. Dengan demikian perempuan bukan penentu keputusan untuk menghasilkan sesuatu, dengan kata lain perempuan bukan sebagai subyek tetapi hanya sekedar sebagai obyek atau pelaksana (Humaini, 1993).
Dalam konteks yang lain perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, maka apabila ingin meluruskan jangan menggunakan kekerasan (paksa) karena akan patah tetapi kalau dibiarkan akan tetap bengkok. Oleh karena itu untuk meluruskan perempuan harus dengan wasiat (petuah-petuah) yang baik (disarikan dari Hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah R.A.).
Dengan demikian perempuan merupakan makhluk yang perlu dijaga dan dilindungi, hal ini dikarenakan perempuan memiliki berbagai sifat yang menjadi kelemahannya, yaitu; hidup dengan perasaan, tidak senang blak-blakan, lebih menyukai harta, suka bertipu daya, dan senang dirayu (Asror, M., 1983). Sisi kelemahan lainnya dari perempuan menurut S.C., Utami Munandar (1993) adalah:
  1. Memiliki sifat inferior, dan tidak berani mengambil inisiatif apalagi mengambil keputusan yang menentukan.
  2. Lebih emosional dan kurang berfikir secara rasional.
  3. Menghendaki cinta orang lain hanya untuk dirinya, tanpa memperhatikan kepentingan orang lain.
  4. Menginginkan atensi, afeksi dan kasih saying dari orang lain.
Melihat kenyataan yang didasarkan teori dan pendapat dari para pakar tersebut, maka sangat penting adanya upaya-upaya untuk memberdayakan perempuan dalam bidang politik agar kaum perempuan dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan politik. Dalam dimensi politik pemberdayaan menyangkut proses peningkatan kesadaran perempuan akan kemampuan mereka, akan hak dan kewajibannya, dan mampu menggunakan kemampuan dan pengetahuannya untuk mengorganisasikan diri mereka sendiri. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memberdayakan perempuan dalam bidang politik, adalah sebagai berikut:
  1. Melibatkan kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam proses pengabilan keputusan pada tingkat lokal. Banyak upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah lokal untuk melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini bisa dilihat dari pengikutsertaan masyarakat dalam program-program pembangunan pada tingkat kabupaten/kota, kecamatan maupun  sampai pada tingkat desa/ kelurahan. Namun pengikutsertaan perempuan dalam proses pengambilan keputusan tersebut masih bersifat semu, dimana peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan tersebut hanya sebuah pelengkap, sehingga keikutsertaan perempuan dalam proses pengambilan keputusan tersebut tidak mampu memasukkan agenda yang menjadi kepentingannya. Hal ini dikarenakan segala sesuatu yang berkaitan dengan perencanaan dan pelaksanaan program sudah disusun sedemikian rupa sehingga tinggal mengambil keputusan saja. Peran perempuan dalam hal ini hanya sebagai alat legitimasi terhadap program dan proyek yang telah disusun. Oleh karena itu kiranya masih perlu pelibatan perempuan secara nyata dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berperan secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program dan proyek sesuai dengan kebutuhan yang ada di masyarakat tersebut.
  2. Menggugah kaum perempuan dalam memilih kepemimpinan yang mempresentasikan kepentingannya pada tingkat lokal, regional maupun nasional. Secara filosofi dilaksanakannya pilihan presiden secara langsung, pilihan gubernur dan bupati secara langsung serta pemilihan kepala desa secara langsung membuka peluang bagi kaum perempuan untuk menggunakan hak yang sama dengan kaum laki-laki. Namun demikian tidak banyak perempuan yang menggunakan kesempatan untuk bisa duduk dalam jabatan politik. Hal ini dikarenakan arena politik yang begitu keras, penuh dengan intrik-intrik tertentu, strategi-strategi, bahkan kalau perlu denggunakan intimidasi dan violence (kekerasan), sehingga perempuan menganggap arena politik bukan tempat yang “aman” bagi dirinya. Oleh karena itu perlu dilakukan pendidikan politik kepada perempuan dalam rangka menggugah kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Dengan masih adanya sisa-sisa konsep politik yang bersifat paternalism mungkin akan sedikit berat, tetapi hal ini harus dilakukan untuk mewujudkan peran serta perempuan dalam bidang politik.
  3. Melibatkan kaum perempuan dalam membagi kekuasaan secara demokratis. Membagi kekuasaan secara demokratis mengandung pengertian bahwa penyelesaian masalah yang ada diletakkan pada tingkatan kekuasaan yang terdekat. Organisasi-organisasi yang ada diberi kebebasan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, termasuk organisasi kaum perempuan. Pemerintah tidak perlu mencampuri masalah intern organisasi selama organisasi yang bersangkutan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Pemerintah hanya perlu memberikan support kepada organisasi-organisasi perempuan untuk bisa eksis dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat termasuk dalam pengambilan keputusan, karena pada dasarnya pengambilan keputusan merupakan kegiatan yang bersifat politis. 
  4. Melibatkan kaum perempuan dalam mengalokasikan sumber-sumber komunal secara adil. Sumber-sumber komunal yang ada harus dialokasikan secara adil, sehingga tidak ada yang memiliki hak-hak istimewa dan yang dimarjinalkan untuk menikmati sumber-sumber komunal yang ada. Oleh karena itu tidak boleh ada diskriminasi antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki dalam pengalokasian sumber-sumber komunal. Disinilah satu makna yang mencerminkan terwujudnya emansipasi perempuan.
C.   Politik Perempuan: Transformasi menuju partisipasi politik.
Peran kaum perempuan dalam bidang politik dimulai dengan munculnya gerakan-gerakan perempuan di berbagai Negara sekitar awal abad ke-20. Di Indonesia gerakan perempuan berawal sejak kartini mencetuskan gagasan tentang sekolah bagi anak perempuan. Gerakan kemudian berkembang dalam bentuk berdirinya organisasi-organisasi perempuan pada masa kolonial, masa sesudah kemerdekaan hingga sekarang. Organisasi-organisasi perempuan seperti Wanito Oetomo, Aisyiah, Isteri Sedar, Gerwani, Perwari dan sebagainya merupakan wadah pergerakan perempuan di Indonesia. Kemudian pada saat ini berkembang gerakan perempuan yang domotori oleh kalangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perempuan dengan perjuangan seputar hak-hak reproduksi perempuan dan menentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Gerakan perempuan relatif jarang dikaji oleh pakar politik karena gerakan perempuan cenderung lebih bersifat gerakan sosial dan gerakan hak-hak asasi manusia, hal ini dikarenakan tuntutan kaum perempuan sering dinilai tidak memiliki dimensi politik sehingga gerakan perempuan tidak dilihat sebagi gerakan politik.
Karena kepentingan perempuan yang sangat beragam, maka isu yang diperjuangkan dalam gerakan perempuan juga bersifat hiterogen. Ada tiga tipa gerakan perempuan (Vargas, 1995), yaitu:
  1. Gerakan hak-hak asasi manusia, yaitu gerakan dari kelompok perempuan yang cenderung tidak memiliki pengalaman politik.
  2. Gerakan kelompok perempuan popular, gerakan ini memperjuangkan kelangsungan hidup keluarga-keluarga miskin di pemukiman kumuh perkotaan dan pemenuhan kebutuhan hidup yang mendasar oleh Negara.
  3. Gerakan kelompok feminis, mengorganisir tuntutan-tuntutan perempuan berbasis gender. Feminisme merupakan cara berfikir yang diciptakan dan atas nama perempuan yang melahirkan keinginan aktif untuk mengubah posisi perempuan di masyarakat (Delmar, 1987). Gerakan feminisme merupakan gerakan sosial politik yang bertujuan untuk melenyapkan penindasan dan dominasi laki-laki terhadap perempuan (Farganis, 1994). Dalam jangka panjang gerakan kelompok feminisme bertujuan mengubah masyarakat agar lebih demokratis, mewujudkan masyarakat yang sadar politik, mensosialisasikan ekonomi dan mengakhiri diskriminasi rasial (Wieringa, 1999).
Menurut Wieringa (1999) keragaman isu dan bentuk gerakan perempuan tidak semestinya mengesampingkan kepentingan gender. Kepentingan gender harus dipandang dalam konteks proses pembentukan identitas dan penyadaran politik yang berkesinambungan. Oleh karenanya kepentingan gender perempuan meliputi berbagai unsur yang kompleks dan fleksibel yang didefinisikan dan diprioritaskan di tengah proses politik.
Proses tranformasi dari gerakan sosial menuju gerakan politik kaum perempuan tidak bisa berjalan dengan baik tanpa adanya dukungan faktor-faktor kunci. Banyak faktor kunci yang mendukung terjadinya transformasi menuju partisipasi politik kaum perempuan, diantaranya adalah:
1.    Iklim organisasi (pemerintahan) yang kondusif akan menentukan keberhasilan transformasi. Semakin kondusif iklim organisasi, semakin berhasil transformasi yang dilakukan. Iklim organisasi yang kondusif tercermin dari adanya arus komunikasi yang baik, dorongan, penghargaan dan sebagainya.
2.    Kepemimpinan yang baik akan mendukung terjadinya transformasi partisipasi politik perempuan. Ada empat perilaku pemimpin yang baik menurut Houser (dalam Mustam, 1989), yaitu 1) support (meningkatkan perasaan orang lain akan harga dirinya dan merasa dipentingkan), 2) interaction facilitation (memberi semangat sehingga tumbuh kerjasama yang kuat dan terbentuklah tim kerja yang solid), 3) goal emphasis (menunjukkan penampilan yang terbaik), 4) work facilitation (memberikan petunjuk tentang beberapa aktifitas penting)
3.    Transformasi menuju partisipasi politik perempuan akan berhasil apabila didukung oleh sikap kaum perempuan yang kondusif. Aktor utama transformasi partisipasi politik adalah kaum perempuan yang bertidak sebagai subjek yang akan berubah. Jadi, faktor sikap kaum perempuan yang mendukung untuk melaksanakan perubahan dari gerakan sosial menuju gerakan politik merupakan faktor yang penting.                                             
D.   Penutup
Pemberdayaan perempuan dalam bidang politik memiliki konsep, pengertian dan dimensi yang sangat luas. Sehingga pembahasan tentang pemberdayaan perempuan dalam bidang politik yang tertuang dalam beberapa lembar kertas ini tentunya tidak dapat mengungkap secara tuntas konsep, pengertian dan dimensi pemberdayaan perempuan dalam bidang politik.
Namun paling tidak  makalah ini bisa memberikan sedikit wacana tentang pemberdayaan perempuan dalam bidang politik. Akhirnya tidak ada  kata yang patut kami sampaikan selain rasa terima kasih kami kepada seluruh pihak yang telah memberikan dukungan bagi terlaksananya kegiatan pengabdian masyarakat ini.
Daftar Pustaka
Asror, M. (1983), Emansipasi Wanita, Thoha Putra, Semarang.

Delmar, Rosalind (1987), “What is Feminism? Dalam Juliet Mitchell dan Ann Oakley (ed), What is Feminism? , Basil Blackwell Ltd, Oxford.

Farganis, Sondra (1994), Situating Feminism: From Thought to Action, Sage Publication, Thousand Oak.

Humaini (1993), Karangan Khas, Suara Merdeka, Semarang.

Munandar, S.C. Utami (ed) (1985), Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia, Suatu Tinjauan Psikologis, UI Pres, Jakarta.

Mustam, Muhammad (1989), Pengembangan Kepuasan Kerja, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tjokrowinoto, Mulyarto. (2000). Konsep Pemberdayaan Masyarakat, Makalah Seminar.

Vargas, Virginia (1995), “Women’s Movement in Peru: Rebellion into Action” Dalam Saskia Wieringa (ed), Subversive Women, Zed Books, London.

Wieringa, Saskia Eleonara (1999). Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia (terjemahan Hersri Setiawan), Garba Budaya, Jakarta.


Menumbuhkan Wawasan Kebangsaan Berlandaskan Kearifan Lokal.

Untuk menumbuhkan wawasan kebangsaan bisa dilakukan dengan mengede-pankan kearifan lokal yang kita miliki. Oleh karena itu selalu menjaga dan melestarikan kearifan lokal merupakan sarana yang dapat digunakan untuk menumbuhkembangkan wawasan kebangsaan khususnya dalam tataran individu maupun masyarakat.
1.         Pancasila dalam Kaarifan Lokal.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sebenarnya digali dari nilai-nilai kehidupan di dalam masyarakat. Oleh karena itu kearifan lokal dapat digunakan sebagai modal dalam pengamalan Pancasila. Apabila hal ini dapat dilakukan maka akan kokoh pilar wawasan kebangsaan. Berbagai kearifan lokal yang dapat menyatu erat dengan Pancasila diantaranya “agama ageming aji”, konsep ini merupakan konsep ke-Tuhanan masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan di dalam hidupnya. Hal lain yang melandasi masalah ke-Tuhanan adalah “Gusti Allah ora sare”, “kridhaning ati tan bisa mbedhah kuthaning pesthi, budidayaning manungso tan bisa ngungkuli garising kawasa, ora ana kasekten kang bisa ngalahke pepesthen” dan masih banyak ajaran kearifan lokal lainnya yang terkait dengan Pancasila. Ajaran-ajaran kearifan lokal tersebut diantaranya “sepi ing pamrih rame ing gawe”, “dudu sanak dudu kadang yen mati melu kelangan”, “kaya suruh beda lumah kurebe yen ginigit padha rasane” dan ajaran kearifan lokal lainnya.   
2.         Undang-undang Dasar 1945 dalam Kearifan Lokal.
Undang-undang Dasar 1945 merupakan salah satu pilar wawasan kebangaan, oleh karena itu pelaksanaan harus secara murni dan konsekuen. Dalam masyarakat Jawa, ada kearifan lokal yang mengajarkan tentang hal tersebut, diantaranya adala ungkapan “rumangsa melu handarbeni, wajib hangrungkebi, mulat sariro hangrasa wani”. Hal ini mengandung maksud bahwa pemerintah dan mayarakat harus secara bersama-sama merasa Negara ini dijalankan dengan berlandaskan Undang-undang Dasar 1945, oleh karena itu secara bersama-sama pula pemerintah dan masyarakat harus bekerjasama untuk mewujudkan kesejahteran.
3.         Bhinneka Tunggal Ika dalam Kearifan Lokal.
Kebhinnekaan adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan bermasyarakat, oleh karena itu dala kehidupan bermasyarakat kita harus saling menjaga antara satu dengan yang lain. Dalam kearifan lokal khususnya pada masyarakat Jawa dikenal adanya prinsip hidup bermasyarakat atas dasar kebhinnekaan ini, diantaranya adalah ungkapan “manjing ajur-ajer”. Ungkapan kearifan lokal masyarakat Jawa ini mengisyaratkan bahwa meskipun dalam suatu komunitas itu ada perbedaan tetapi harus tetap selalu menjaga kebersamaan untuk mewujudkan kedamaian. Dengan demikian keakraban akan terjalin  bukan hanya dalam hubungan lahir tetapi terpatri hingga ke hati sanubari. Ungkapan lain yang senada adalah momor momot, nggendong nyunggi dan sebagainya. Ungkapan yang lainnya adalah “tepa slira”, yang memiliki perngertian bahwa segala sesuatu yang terjadi diusahakan atau diukur terhadap diri sendiri. Dengan demikian setiap orang harus menjaga sikap, perbuatan dan tutur katanya agar tidak menyinggung orang lain. Pengamalan sikap tepa slira akan menjauhkan dari sikap gumedhe, keminter, kumalungkung, daksiyo dan sikap lainnya yang tidak disukai orang lain.
4.         Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Kearifan Lokal.
             Negara Kesatuan Repubik Indonesia  harus dijaga karena merupakan salah satu pilar wawasan kebangasaan. Untuk menjaga NKRI tetap untuk maka kita harus menjaga dari ancaman dan gangguan. Dalam kearifan lokal ada ungkapan “sedumuk bathuk senyari bumi ditohi pati” ini adalah ungkapan sikap mempertahankan kehormatan dan harga diri untuk mempertahankan tanah air tercinta. Selain itu ada pula ungkapan “rawe-rawe rantas malang-malang putung”, maupuan ungkapan “wani getih bakal mekolih”.