A. Batasan Dan Kedudukan Perempuan.
Perempuan
atau wanita menurut pandangan sejarah
memainkan banyak peran di Masyarakat. Perempuan dapat berperan sebagai
ibu, istri, petani, buruh, guru, birokrat, pengelola perusahaan maupun pejabat
pemerintah merupakan bukti nyata bahwa keberadaan perempuan dalam beberapa segi
sudah dapat disejajarkan dengan laki-laki. Negara juga menjamin persamaan hak
dalam hukum dan pemerintahan, hal ini menunjukkan di negeri ini tidak ada
diskriminatif berdasarkan gender.
Perempuan
sebagai warga negara mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan
laki-laki di segala bidang kehidupan bangsa dan segenap kegiatan pembangunan.
Namun demikian perlu diingat bahwa partisipasi dan sumbangan terhadap
pembangunan bangsa harus sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya sebagai
perempuan.
Harus
diakui bahwa keberadaan perempuan dalam kancah politik di Indonesia pada
saat ini belum signifikan. Perempuan dalam gerakan politik di Indonesia tidak
begitu terdengar gaungnya, hal inilah yang menjadikan kaum perempuan
seolah-olah “dimarjinalkan” dalam bidang politik. Satu hal yang tidak dapat
dipungkiri adalah antusiaisme perempuan dalam bidang politik relatif sangat
rendah, hal ini terlihat dari belum sepenuhnya terpenuhi kuota 30% perempuan
yang duduk di lembaga legislatif utamanya di tingkat propinsi dan kabupaten
ataupun pada lembaga-lembaga Negara lainnya. Padahal seperti kita ketahui
bersama, penduduk Indonesia
relatif lebih banyak wanita dibandingkan dengan kaum laki-laki.
Masih
sedikitnya jumlah kaum perempuan yang terjun dalam kancah politik menjadikan
kepentingan kaum perempuan seringkali tidak tersuarakan. Hal ini menjadikan
perempuan “seolah-olah” penduduk kelas kelas dua di negeri yang sedang belajar
berdemokrasi (Indonesia).
Pemahaman yang keliru tentang konsep politik merupakan salah satu sebab
kurangnya partisipasi politik oleh kaum perempuan.
Dengan
demikian maka dapat dikatakan bahwa kedudukan perempuan dalam bidang politik
masih relatif sangat lemah. Perempuan-perempuan
Indonesia
mayoritas masih cenderung menjadi obyek politik, daripada menjadi subyek
politik. Oleh karena itu meskipun secara teori tidak ada diskriminatif gender
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk didalamnya dalam hal
berpolitik, tetapi kenyataannya kaum laki-laki masih relatif dominan dalam
kehidupan politik dibandingkan dengan perempuan.
B. Pemberdayaan Perempuan Dalam Bidang Politik.
Pada
saat ini harus diakui meskipun emasipasi perempuan telah dibuka lebar, tetapi
masih ada ketidakberdayaan (empowering) perempuan khususnya dalam bidang
politik. Hal ini terkait erat dengan kedudukan perempuan dalam masyarakat
tradisional, dimana perempuan ditempatkan untuk mengelola urusan-urusan keluarga,
atau sebagai pekerja untuk menghasilkan sesuatu yang produktif. Dengan demikian
perempuan bukan penentu keputusan untuk menghasilkan sesuatu, dengan kata lain
perempuan bukan sebagai subyek tetapi hanya sekedar sebagai obyek atau
pelaksana (Humaini, 1993).
Dalam
konteks yang lain perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, maka
apabila ingin meluruskan jangan menggunakan kekerasan (paksa) karena akan patah
tetapi kalau dibiarkan akan tetap bengkok. Oleh karena itu untuk meluruskan
perempuan harus dengan wasiat (petuah-petuah) yang baik (disarikan dari Hadist
yang diriwayatkan Abu Hurairah R.A.).
Dengan
demikian perempuan merupakan makhluk yang perlu dijaga dan dilindungi, hal ini
dikarenakan perempuan memiliki berbagai sifat yang menjadi kelemahannya, yaitu;
hidup dengan perasaan, tidak senang blak-blakan, lebih menyukai harta, suka
bertipu daya, dan senang dirayu (Asror, M., 1983). Sisi kelemahan lainnya dari
perempuan menurut S.C., Utami Munandar (1993) adalah:
- Memiliki sifat inferior, dan tidak berani mengambil inisiatif apalagi mengambil keputusan yang menentukan.
- Lebih emosional dan kurang berfikir secara rasional.
- Menghendaki cinta orang lain hanya untuk dirinya, tanpa memperhatikan kepentingan orang lain.
- Menginginkan atensi, afeksi dan kasih saying dari orang lain.
Melihat
kenyataan yang didasarkan teori dan pendapat dari para pakar tersebut, maka
sangat penting adanya upaya-upaya untuk memberdayakan perempuan dalam bidang
politik agar kaum perempuan dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan
politik. Dalam dimensi politik pemberdayaan menyangkut proses peningkatan
kesadaran perempuan akan kemampuan mereka, akan hak dan kewajibannya, dan mampu
menggunakan kemampuan dan pengetahuannya untuk mengorganisasikan diri mereka
sendiri. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memberdayakan perempuan dalam
bidang politik, adalah sebagai berikut:
- Melibatkan kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam proses pengabilan keputusan pada tingkat lokal. Banyak upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah lokal untuk melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini bisa dilihat dari pengikutsertaan masyarakat dalam program-program pembangunan pada tingkat kabupaten/kota, kecamatan maupun sampai pada tingkat desa/ kelurahan. Namun pengikutsertaan perempuan dalam proses pengambilan keputusan tersebut masih bersifat semu, dimana peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan tersebut hanya sebuah pelengkap, sehingga keikutsertaan perempuan dalam proses pengambilan keputusan tersebut tidak mampu memasukkan agenda yang menjadi kepentingannya. Hal ini dikarenakan segala sesuatu yang berkaitan dengan perencanaan dan pelaksanaan program sudah disusun sedemikian rupa sehingga tinggal mengambil keputusan saja. Peran perempuan dalam hal ini hanya sebagai alat legitimasi terhadap program dan proyek yang telah disusun. Oleh karena itu kiranya masih perlu pelibatan perempuan secara nyata dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berperan secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program dan proyek sesuai dengan kebutuhan yang ada di masyarakat tersebut.
- Menggugah kaum perempuan dalam memilih kepemimpinan yang mempresentasikan kepentingannya pada tingkat lokal, regional maupun nasional. Secara filosofi dilaksanakannya pilihan presiden secara langsung, pilihan gubernur dan bupati secara langsung serta pemilihan kepala desa secara langsung membuka peluang bagi kaum perempuan untuk menggunakan hak yang sama dengan kaum laki-laki. Namun demikian tidak banyak perempuan yang menggunakan kesempatan untuk bisa duduk dalam jabatan politik. Hal ini dikarenakan arena politik yang begitu keras, penuh dengan intrik-intrik tertentu, strategi-strategi, bahkan kalau perlu denggunakan intimidasi dan violence (kekerasan), sehingga perempuan menganggap arena politik bukan tempat yang “aman” bagi dirinya. Oleh karena itu perlu dilakukan pendidikan politik kepada perempuan dalam rangka menggugah kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Dengan masih adanya sisa-sisa konsep politik yang bersifat paternalism mungkin akan sedikit berat, tetapi hal ini harus dilakukan untuk mewujudkan peran serta perempuan dalam bidang politik.
- Melibatkan kaum perempuan dalam membagi kekuasaan secara demokratis. Membagi kekuasaan secara demokratis mengandung pengertian bahwa penyelesaian masalah yang ada diletakkan pada tingkatan kekuasaan yang terdekat. Organisasi-organisasi yang ada diberi kebebasan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, termasuk organisasi kaum perempuan. Pemerintah tidak perlu mencampuri masalah intern organisasi selama organisasi yang bersangkutan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Pemerintah hanya perlu memberikan support kepada organisasi-organisasi perempuan untuk bisa eksis dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat termasuk dalam pengambilan keputusan, karena pada dasarnya pengambilan keputusan merupakan kegiatan yang bersifat politis.
- Melibatkan kaum perempuan dalam mengalokasikan sumber-sumber komunal secara adil. Sumber-sumber komunal yang ada harus dialokasikan secara adil, sehingga tidak ada yang memiliki hak-hak istimewa dan yang dimarjinalkan untuk menikmati sumber-sumber komunal yang ada. Oleh karena itu tidak boleh ada diskriminasi antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki dalam pengalokasian sumber-sumber komunal. Disinilah satu makna yang mencerminkan terwujudnya emansipasi perempuan.
C. Politik Perempuan: Transformasi menuju partisipasi
politik.
Peran
kaum perempuan dalam bidang politik dimulai dengan munculnya gerakan-gerakan
perempuan di berbagai Negara sekitar awal abad ke-20. Di Indonesia gerakan
perempuan berawal sejak kartini mencetuskan gagasan tentang sekolah bagi anak
perempuan. Gerakan kemudian berkembang dalam bentuk berdirinya
organisasi-organisasi perempuan pada masa kolonial, masa sesudah kemerdekaan
hingga sekarang. Organisasi-organisasi perempuan seperti Wanito Oetomo,
Aisyiah, Isteri Sedar, Gerwani, Perwari dan sebagainya merupakan wadah
pergerakan perempuan di Indonesia.
Kemudian pada saat ini berkembang gerakan perempuan yang domotori oleh kalangan
aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perempuan dengan perjuangan seputar
hak-hak reproduksi perempuan dan menentang segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan.
Gerakan
perempuan relatif jarang dikaji oleh pakar politik karena gerakan perempuan
cenderung lebih bersifat gerakan sosial dan gerakan hak-hak asasi manusia, hal
ini dikarenakan tuntutan kaum perempuan sering dinilai tidak memiliki dimensi
politik sehingga gerakan perempuan tidak dilihat sebagi gerakan politik.
Karena
kepentingan perempuan yang sangat beragam, maka isu yang diperjuangkan dalam
gerakan perempuan juga bersifat hiterogen. Ada tiga tipa gerakan perempuan (Vargas,
1995), yaitu:
- Gerakan hak-hak asasi manusia, yaitu gerakan dari kelompok perempuan yang cenderung tidak memiliki pengalaman politik.
- Gerakan kelompok perempuan popular, gerakan ini memperjuangkan kelangsungan hidup keluarga-keluarga miskin di pemukiman kumuh perkotaan dan pemenuhan kebutuhan hidup yang mendasar oleh Negara.
- Gerakan kelompok feminis, mengorganisir tuntutan-tuntutan perempuan berbasis gender. Feminisme merupakan cara berfikir yang diciptakan dan atas nama perempuan yang melahirkan keinginan aktif untuk mengubah posisi perempuan di masyarakat (Delmar, 1987). Gerakan feminisme merupakan gerakan sosial politik yang bertujuan untuk melenyapkan penindasan dan dominasi laki-laki terhadap perempuan (Farganis, 1994). Dalam jangka panjang gerakan kelompok feminisme bertujuan mengubah masyarakat agar lebih demokratis, mewujudkan masyarakat yang sadar politik, mensosialisasikan ekonomi dan mengakhiri diskriminasi rasial (Wieringa, 1999).
Menurut
Wieringa (1999) keragaman isu dan bentuk gerakan perempuan tidak semestinya
mengesampingkan kepentingan gender. Kepentingan gender harus dipandang dalam
konteks proses pembentukan identitas dan penyadaran politik yang
berkesinambungan. Oleh karenanya kepentingan gender perempuan meliputi berbagai
unsur yang kompleks dan fleksibel yang didefinisikan dan diprioritaskan di
tengah proses politik.
Proses
tranformasi dari gerakan sosial menuju gerakan politik kaum perempuan tidak
bisa berjalan dengan baik tanpa adanya dukungan faktor-faktor kunci. Banyak
faktor kunci yang mendukung terjadinya transformasi menuju partisipasi politik
kaum perempuan, diantaranya adalah:
1.
Iklim organisasi (pemerintahan) yang
kondusif akan menentukan keberhasilan transformasi. Semakin kondusif iklim
organisasi, semakin berhasil transformasi yang dilakukan. Iklim organisasi yang
kondusif tercermin dari adanya arus komunikasi yang baik, dorongan, penghargaan
dan sebagainya.
2. Kepemimpinan
yang baik akan mendukung terjadinya transformasi partisipasi politik perempuan.
Ada empat
perilaku pemimpin yang baik menurut Houser (dalam Mustam, 1989), yaitu 1)
support (meningkatkan perasaan orang lain akan harga dirinya dan merasa
dipentingkan), 2) interaction facilitation (memberi semangat sehingga
tumbuh kerjasama yang kuat dan terbentuklah tim kerja yang solid), 3) goal
emphasis (menunjukkan penampilan yang terbaik), 4) work facilitation (memberikan
petunjuk tentang beberapa aktifitas penting)
3. Transformasi
menuju partisipasi politik perempuan akan berhasil apabila didukung oleh sikap
kaum perempuan yang kondusif. Aktor utama transformasi partisipasi politik
adalah kaum perempuan yang bertidak sebagai subjek yang akan berubah. Jadi,
faktor sikap kaum perempuan yang mendukung untuk melaksanakan perubahan dari
gerakan sosial menuju gerakan politik merupakan faktor yang penting.
D. Penutup
Pemberdayaan
perempuan dalam bidang politik memiliki konsep, pengertian dan dimensi yang
sangat luas. Sehingga pembahasan tentang pemberdayaan perempuan dalam bidang
politik yang tertuang dalam beberapa lembar kertas ini tentunya tidak dapat
mengungkap secara tuntas konsep, pengertian dan dimensi pemberdayaan perempuan
dalam bidang politik.
Namun
paling tidak makalah ini bisa memberikan
sedikit wacana tentang pemberdayaan perempuan dalam bidang politik. Akhirnya
tidak ada kata yang patut kami sampaikan
selain rasa terima kasih kami kepada seluruh pihak yang telah memberikan
dukungan bagi terlaksananya kegiatan pengabdian masyarakat ini.
Daftar
Pustaka
Asror,
M. (1983), Emansipasi Wanita, Thoha Putra, Semarang.
Delmar,
Rosalind (1987), “What is Feminism? Dalam Juliet Mitchell dan Ann Oakley (ed),
What is Feminism? , Basil Blackwell Ltd, Oxford.
Farganis,
Sondra (1994), Situating Feminism: From Thought to Action, Sage Publication,
Thousand Oak.
Humaini
(1993), Karangan Khas, Suara Merdeka, Semarang.
Munandar,
S.C. Utami (ed) (1985), Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia,
Suatu Tinjauan Psikologis, UI Pres, Jakarta.
Mustam,
Muhammad (1989), Pengembangan Kepuasan Kerja, Tesis, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tjokrowinoto,
Mulyarto. (2000). Konsep Pemberdayaan Masyarakat, Makalah Seminar.
Vargas, Virginia (1995), “Women’s Movement in Peru: Rebellion
into Action” Dalam Saskia Wieringa (ed), Subversive Women, Zed Books, London.
Wieringa, Saskia Eleonara (1999). Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia
(terjemahan Hersri Setiawan), Garba Budaya, Jakarta.