Untuk menumbuhkan wawasan kebangsaan bisa dilakukan
dengan mengede-pankan kearifan lokal yang kita miliki. Oleh karena itu selalu
menjaga dan melestarikan kearifan lokal merupakan sarana yang dapat digunakan
untuk menumbuhkembangkan wawasan kebangsaan khususnya dalam tataran individu
maupun masyarakat.
1.
Pancasila dalam Kaarifan Lokal.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sebenarnya
digali dari nilai-nilai kehidupan di dalam masyarakat. Oleh karena itu kearifan
lokal dapat digunakan sebagai modal dalam pengamalan Pancasila. Apabila hal ini
dapat dilakukan maka akan kokoh pilar wawasan kebangsaan. Berbagai kearifan
lokal yang dapat menyatu erat dengan Pancasila diantaranya “agama ageming aji”, konsep ini merupakan
konsep ke-Tuhanan masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan
di dalam hidupnya. Hal lain yang melandasi masalah ke-Tuhanan adalah “Gusti Allah ora sare”, “kridhaning ati tan
bisa mbedhah kuthaning pesthi, budidayaning manungso tan bisa ngungkuli
garising kawasa, ora ana kasekten kang bisa ngalahke pepesthen” dan masih
banyak ajaran kearifan lokal lainnya yang terkait dengan Pancasila.
Ajaran-ajaran kearifan lokal tersebut diantaranya “sepi ing pamrih rame ing gawe”, “dudu sanak dudu kadang yen mati melu
kelangan”, “kaya suruh beda lumah kurebe yen ginigit padha rasane” dan
ajaran kearifan lokal lainnya.
2.
Undang-undang Dasar 1945 dalam Kearifan Lokal.
Undang-undang Dasar 1945 merupakan salah satu pilar
wawasan kebangaan, oleh karena itu pelaksanaan harus secara murni dan
konsekuen. Dalam masyarakat Jawa, ada kearifan lokal yang mengajarkan tentang
hal tersebut, diantaranya adala ungkapan “rumangsa
melu handarbeni, wajib hangrungkebi, mulat sariro hangrasa wani”. Hal ini
mengandung maksud bahwa pemerintah dan mayarakat harus secara bersama-sama
merasa Negara ini dijalankan dengan berlandaskan Undang-undang Dasar 1945, oleh
karena itu secara bersama-sama pula pemerintah dan masyarakat harus bekerjasama
untuk mewujudkan kesejahteran.
3.
Bhinneka Tunggal Ika dalam Kearifan Lokal.
Kebhinnekaan adalah suatu keniscayaan yang tidak
dapat dihindari dalam kehidupan bermasyarakat, oleh karena itu dala kehidupan
bermasyarakat kita harus saling menjaga antara satu dengan yang lain. Dalam
kearifan lokal khususnya pada masyarakat Jawa dikenal adanya prinsip hidup
bermasyarakat atas dasar kebhinnekaan ini, diantaranya adalah ungkapan “manjing ajur-ajer”. Ungkapan kearifan lokal
masyarakat Jawa ini mengisyaratkan bahwa meskipun dalam suatu komunitas itu ada
perbedaan tetapi harus tetap selalu menjaga kebersamaan untuk mewujudkan
kedamaian. Dengan demikian keakraban akan terjalin bukan hanya dalam hubungan lahir tetapi
terpatri hingga ke hati sanubari. Ungkapan lain yang senada adalah momor momot, nggendong nyunggi dan sebagainya. Ungkapan yang lainnya adalah “tepa slira”, yang memiliki perngertian bahwa
segala sesuatu yang terjadi diusahakan atau diukur terhadap diri sendiri.
Dengan demikian setiap orang harus menjaga sikap, perbuatan dan tutur katanya
agar tidak menyinggung orang lain. Pengamalan sikap tepa slira akan menjauhkan
dari sikap gumedhe, keminter,
kumalungkung, daksiyo dan sikap lainnya yang tidak disukai orang lain.
4.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Kearifan
Lokal.
Negara Kesatuan Repubik Indonesia harus dijaga karena merupakan salah satu
pilar wawasan kebangasaan. Untuk menjaga NKRI tetap untuk maka kita harus
menjaga dari ancaman dan gangguan. Dalam kearifan lokal ada ungkapan “sedumuk bathuk senyari bumi ditohi pati” ini adalah ungkapan sikap
mempertahankan kehormatan dan harga diri untuk mempertahankan tanah air
tercinta. Selain itu ada pula ungkapan “rawe-rawe
rantas malang-malang putung”, maupuan ungkapan “wani getih bakal mekolih”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar