Minggu, 27 Mei 2012

Menumbuhkan Wawasan Kebangsaan Berlandaskan Kearifan Lokal.

Untuk menumbuhkan wawasan kebangsaan bisa dilakukan dengan mengede-pankan kearifan lokal yang kita miliki. Oleh karena itu selalu menjaga dan melestarikan kearifan lokal merupakan sarana yang dapat digunakan untuk menumbuhkembangkan wawasan kebangsaan khususnya dalam tataran individu maupun masyarakat.
1.         Pancasila dalam Kaarifan Lokal.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sebenarnya digali dari nilai-nilai kehidupan di dalam masyarakat. Oleh karena itu kearifan lokal dapat digunakan sebagai modal dalam pengamalan Pancasila. Apabila hal ini dapat dilakukan maka akan kokoh pilar wawasan kebangsaan. Berbagai kearifan lokal yang dapat menyatu erat dengan Pancasila diantaranya “agama ageming aji”, konsep ini merupakan konsep ke-Tuhanan masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan di dalam hidupnya. Hal lain yang melandasi masalah ke-Tuhanan adalah “Gusti Allah ora sare”, “kridhaning ati tan bisa mbedhah kuthaning pesthi, budidayaning manungso tan bisa ngungkuli garising kawasa, ora ana kasekten kang bisa ngalahke pepesthen” dan masih banyak ajaran kearifan lokal lainnya yang terkait dengan Pancasila. Ajaran-ajaran kearifan lokal tersebut diantaranya “sepi ing pamrih rame ing gawe”, “dudu sanak dudu kadang yen mati melu kelangan”, “kaya suruh beda lumah kurebe yen ginigit padha rasane” dan ajaran kearifan lokal lainnya.   
2.         Undang-undang Dasar 1945 dalam Kearifan Lokal.
Undang-undang Dasar 1945 merupakan salah satu pilar wawasan kebangaan, oleh karena itu pelaksanaan harus secara murni dan konsekuen. Dalam masyarakat Jawa, ada kearifan lokal yang mengajarkan tentang hal tersebut, diantaranya adala ungkapan “rumangsa melu handarbeni, wajib hangrungkebi, mulat sariro hangrasa wani”. Hal ini mengandung maksud bahwa pemerintah dan mayarakat harus secara bersama-sama merasa Negara ini dijalankan dengan berlandaskan Undang-undang Dasar 1945, oleh karena itu secara bersama-sama pula pemerintah dan masyarakat harus bekerjasama untuk mewujudkan kesejahteran.
3.         Bhinneka Tunggal Ika dalam Kearifan Lokal.
Kebhinnekaan adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan bermasyarakat, oleh karena itu dala kehidupan bermasyarakat kita harus saling menjaga antara satu dengan yang lain. Dalam kearifan lokal khususnya pada masyarakat Jawa dikenal adanya prinsip hidup bermasyarakat atas dasar kebhinnekaan ini, diantaranya adalah ungkapan “manjing ajur-ajer”. Ungkapan kearifan lokal masyarakat Jawa ini mengisyaratkan bahwa meskipun dalam suatu komunitas itu ada perbedaan tetapi harus tetap selalu menjaga kebersamaan untuk mewujudkan kedamaian. Dengan demikian keakraban akan terjalin  bukan hanya dalam hubungan lahir tetapi terpatri hingga ke hati sanubari. Ungkapan lain yang senada adalah momor momot, nggendong nyunggi dan sebagainya. Ungkapan yang lainnya adalah “tepa slira”, yang memiliki perngertian bahwa segala sesuatu yang terjadi diusahakan atau diukur terhadap diri sendiri. Dengan demikian setiap orang harus menjaga sikap, perbuatan dan tutur katanya agar tidak menyinggung orang lain. Pengamalan sikap tepa slira akan menjauhkan dari sikap gumedhe, keminter, kumalungkung, daksiyo dan sikap lainnya yang tidak disukai orang lain.
4.         Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Kearifan Lokal.
             Negara Kesatuan Repubik Indonesia  harus dijaga karena merupakan salah satu pilar wawasan kebangasaan. Untuk menjaga NKRI tetap untuk maka kita harus menjaga dari ancaman dan gangguan. Dalam kearifan lokal ada ungkapan “sedumuk bathuk senyari bumi ditohi pati” ini adalah ungkapan sikap mempertahankan kehormatan dan harga diri untuk mempertahankan tanah air tercinta. Selain itu ada pula ungkapan “rawe-rawe rantas malang-malang putung”, maupuan ungkapan “wani getih bakal mekolih”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar