Jumat, 22 Juni 2012

REVITALISASI PERAN TOKOH MASYARAKAT DALAM MENINGKATKAN STABILITAS POLITIK


A. Pengantar.
Tokoh masyarakat pernah memiliki peran sentral dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai peran telah dimainkan dalam memberikan sumbangsihnya kepada bangsa dan Negara. Banyak keberhasilan pembangunan di Indonesia yang melibatkan tokoh masya-rakat sebagai ujung tombak gerakan pembaharuan dan perubahan menuju kearah yang dianggap lebih baik oleh pemerintah (terutama masa orde baru).
Berbagai peran yang pernah dimainkan oleh tokoh masyarakat dalam pembangunan misalnya; pada program keluarga berencana, program penanaman padi bibit unggul, pemasyarakatan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, penggunaan pupuk jenis pil, dan masih banyak peran yang dimainkan oleh tokoh masyarakat dalam bidang pembanguan.
Seiring dengan berjalannya waktu, maka setelah reformasi peran tokoh masyarakat sedikit demi sedikit memudar meskipun belum bisa dikatakan hilang sama sekali. Pergolakan politik pada masa reformasi banyak memunculkan tokoh-tokoh politik, tetapi belum tentu mereka bisa menjadi tokoh masyarakat.
Oleh karena itu kiranya menarik untuk membicarakan peran yang bisa dimainkan oleh tokoh masyarakat, dimana salah satunya adalah peran di dalam meningkatkan stabilitas politik khususnya di wilayah Kabupaten Sukoharjo. Penulisan judul tersebut merupakan “lemparan bola” untuk didiskusikan, dan merupakan refleksi atas memudarnya peran tokoh masyarakat dalam berbagai bidang pembangunan termasuk dalam membangun stabilitas politik.
1.  Tokoh Masyarakat.
Tokoh masyarakat adalah orang yang terkemuka dan kenamaan dalam berbagai bidang kehidupan di masyarakat. Dengan demikian penokohan seseorang tentunya bersifat time specific (tergantung dari waktunya) dan culture specific (tergantung dari tempatnya). Seorang yang ditokohkan biasanya memiliki sifat keteladanan, artinya dapat dijadikan contoh dan diteladani sifat-sifat baiknya. Oleh karena itu dalam ajaran kepemimpinan yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa seorang pemimpin yang baik harus memiliki tiga sifat utama yaitu; ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Hal yang demikian tentunya harus dimiliki pula pada mereka yang ditokohkan oleh masyarakat.
Banyak alasan mengapa seseorang dianggap sebagai tokoh dalam masyarakat, diantaranya adalah:
a.  Karena pendidikan.
b.  Karena pekerjaan.
c.   Karena kekayaan.
d.  Karena keahlian.
e.   Karena keturunan, dll.
Namun demikian berbagai faktor yang menjadi latar belakang seseorang menjadi tokoh tidak akan baik kalau dalam dirinya tidak memiliki jiwa kepemimpinan. Oleh karena itu kemampuan mempeng-aruhi orang lain merupakan perpaduan yang jika digabungkan dengan faktor-faktor tersebut. Semakin banyak seseorang memiliki atribut tersebut ditambah jiwa kepemimpinan dan keteladanan maka orang tersebut akan semakin ditokohkan.
2.  Stabilitas Politik.
Stabilitas politik adalah sistem sosial dan politik tertentu untuk mempertahankan tatanan dinamis dan kontinuitas. Secara khusus, mengacu pada ketidakstabilan politik global dan kerusuhan sosial, rezim tidak terjadi dengan sifat tiba-tiba perubahan, warga untuk tidak menggunakan cara ilegal untuk berpartisipasi dalam politik atau untuk merebut kekuasaan, pemerintah tidak menggunakan kekerasan atau pemaksaan untuk menekan perilaku sipil dan politik, untuk menjaga ketertiban sosial. Singkatnya, stabilitas politik adalah konflik sosial dalam urutan tertentu.
Karakteristik stabilitas politik dapat dilihat dari beberapa aspek, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.  Tidak mengabaikan konflik kelas dan perjuangan kelas.
b.  Konflik tetap di "order" dalam lingkup masyarakat.
c.   Ada banyak cara untuk menyelesaikan konflik diantaranya perda-maian ekonomi, budaya, politik, dan cara kekerasan.
d.  Harus taat pada hukum, kontradiksi produksi sosial, dan pembangun-an ekonomi
Selanjutnya faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas politik, diantaranya adalah:
a.  Korupsi.
b.  Distribusi kekayaan yang tidak merata.
c.   Kesalahan dalam pengambilan keputusan.
d.  Kekuatan musuh dalam dan luar negeri.

B.  Peran Tokoh Masyarakat Dalam Meningkatkan Stabilitas Politik.
Untuk meningkatkan stabilitas politik, maka tokoh masyarakat di Kabupaten Sukoharjo perlu mengambil bagian dan berperan serta dalam:
1.   Ikut terlibat secara aktif dalam menetapkan hak-hak yang mem-batasi kekuasaan dari mekanisme anti-korupsi, dengan penuh semangat berjuang melawan korupsi dan untuk mencegah korupsi kekuasaan politik pada tingkat tertentu. Tokoh masyarakat harus mampu membe-rikan pengertian bahaya korupsi kepada masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu tokoh masyarakat sebisa mungkin aktif dalam kegiatan di lingkungannya baik yang bersifat sosial, ekonomi maupun politik. Hal ini akan lebih baik lagi kalau tokoh masyarakat dapat berkecimpung secara aktif dalam organisasi-organisasi atau lembaga yang ada di tingkat desa.
2.   Ikut serta aktif dlam kegiatan untuk mempercepat pengembang-an ekonomi, dengan mempertimbangkan azas keadilan dan memberikan kondisi-kondisi material yang baik untuk stabilitas politik. Masyarakat harus diberikan pemahaman bahwa kemiskinan adalah sumber ketidak-stabilan, oleh karena itu pemberantasan kemiskinan, pencapaian modernisasi ekonomi diperlukan untuk menciptakan stabilitas politik. Oleh karena itu tokoh masyarakat perlu untuk mendorong masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat untuk mendirikan koperasi atau lembaga yang sejenis. Selain itu tokoh masyarakat perlu ikut mendorong generasi muda untuk memiliki jiwa wirausaha dengan menggandeng lembaga terkait.
3.   Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam pengambilan keputusan, maka tokoh masyarakat perlu peningkatan kesadaran rakyat akan kemampuan mereka, akan hak dan kewajibannya, dan mampu menggunakan kemampuan dan pengetahuannya. Oleh karena itu sebagai tokoh masyarakat harus mendorong masyarakat untuk; (a) berpartisipasi dalam proses pengabilan keputusan pada tingkat lokal, (b) memilih kepemimpinan yang mempresentasikan kepentingan mereka pada tingkat lokal, regional maupun nasional (c) membagi kekuasaan secara demokratis, (d) mengalokasikan sumber-sumber komunal secara adil.
4.   Berpartisipasi aktif dalam membentuk masyarakat yang memiliki keteguhan hati, disiplin yang tinggi, dan mau serta mau bekerja keras perlu penanaman nilai-nilai wawasan kebangsaan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut perlu ditanamkan kesadaran bela negara yang bertujuan untuk menggugah kesadaran akan nilai-nilai perjuangan bangsa dalam berbagai tataran, yaitu, (1) tataran individu (personal), pada tataran ini masyarakat perlu nilai dalam kehidupannya yang ditunjukkan dalam sikap dan perilaku. Oleh karena itu masyarakat harus mampu melakukan internalisasi nilai-nilai kehidupan sehingga mampu merumuskan pemikiran, putusan dan tindakan. (2) tataran masyarakat (community), pada tataran ini masyarakat harus mampu menjunjung tinggi nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam masyarakat dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. (3) tataran bangsa (nation), pada tataran ini masyarakat harus dapat menjaga perasaan kebersamaan dalam mendukung nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa sebagai bentuk perjanjian sosial (social contract).
C. Penutup.  
       Pada bagian akhir ini saya ingin menyampaikan bahwa, begitu besar peran  yang dapat dimainkan oleh tokoh masyarakat untuk meningkatkan stabilitas nasional. Sejarah telah mencatat perjuangan yang dilakukan tokoh masyarakat dalam menciptakan dan meningkatkan stabilitas politik. Namun demikian perlu disadari adanya hambatan dan tantangan yang cukup berat dalam menciptakan dan meningkatkan stabilitas politik, oleh karena itu semua pihak harus memiliki kepedulian dalam menumbuh-suburkan stabilitas politik. Selain itu dalam diri tokoh masyarakat harus selalu tertanam optimisme, disiplin dan jiwa kejuangan yang tinggi.  


Rabu, 06 Juni 2012

ANDA BOLEH (TIDAK) PERCAYA


Orang Jawa penuh dengan hitungan dan perhitungan. Orang mau mendirikan rumah, menikahkan anak, membuka usaha dan sebagainya semuanya serba dihitung dan diperhitungkan. Namun ada sesuatu yang cukup unik dalam perhitungan orang sebagian masyarakat Jawa, yaitu menghitung masa depan pasangan yang menikah berdasarkan namanya. Anda boleh (tidak) percaya, tapi cobalah anda hitung masa depan anda dan pasangan anda berdasarkan nama. Huruf depan dan belakang anda dan pasangan anda dikonversikan dalam huruf jawa berikut:
Ha
Na
Ca
Ra
Ka
Da
Ta
Sa
Wa
La
6
3
3
3
3
5
3
3
6
5
Pa
Dha
Dja
Ya
Nya
Ma
Ga
Ba
Tha
Nga
1
4
3
8
3
5
1
2
4
2

Nama kedua pasangan hasil konversi tersebut selanjutnya dijumlah, dan dihitung berdasarkan kategori berikut:
Jatuhnya hitungan
Istilahnya
Maknanya
Keterangan
1
Tunggak tanpa semi
Jelek
Sengsara selamanya berkumpul
2
Pisang pinunggel
Jelek
Putus salah satu
3
Lumbung gumuling
Jelek
Selamanya serba kekurangan
4
Sanggar waringin
Baik
Akan jadi pelindung (pengayoman).
5
Pedaringan kebak
Baik
Akan jadi pelindung (pengayoman) dan serba kecukupan
6
Satriya lelaku
Baik
Untuk sukses harus berbisnis ( among dagang)
7
Pandawa
Baik
Selamanya serba tenang dan damai (ayem tentrem)

Selebihnya dari 7 maka dihitung mulai dari awal lagi (mulai dari 1).
Contoh:
Laki-laki            : Bambang Suseno
Perempuan        : Endang Werdiningsih
Pasangan ini kalau dihitung adalah sebagai berikut:
Laki-laki            = Ba (2) + Na (3) =   5
Perempuan        = Ha (6) + Ha (6) = 12
Jumlah              =                              17
Kalau dihitung angka 17 tersebut adalah 7 (2) dan sisanya 3, maka jatuh pada hitungan Lumbung gumuling yang maknanya selamanya serba kekurangan.

Contoh yang lain
Laki-laki            : Djaya Sentosa
Perempuan        : Kartika Sari
Pasangan ini kalau dihitung adalah sebagai berikut:
Laki-laki            = Dja (3) + Sa (3) =   6
Perempuan        = Ka (3) + Ra (3) =    6
Jumlah               =                               12
Kalau dihitung angka 12 tersebut adalah 7 (1) dan sisanya 5, maka jatuh pada hitungan pedaringan kebak yang maknanya Akan jadi pelindung (pengayoman) dan serba kecukupan.
Itulah salah satu hitungan dan perhitungan masyarakat Jawa tentang pernikahan

Minggu, 27 Mei 2012

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN (Transformasi menuju partisipasi politik)



A.   Batasan Dan Kedudukan Perempuan.
Perempuan atau wanita menurut pandangan sejarah  memainkan banyak peran di Masyarakat. Perempuan dapat berperan sebagai ibu, istri, petani, buruh, guru, birokrat, pengelola perusahaan maupun pejabat pemerintah merupakan bukti nyata bahwa keberadaan perempuan dalam beberapa segi sudah dapat disejajarkan dengan laki-laki. Negara juga menjamin persamaan hak dalam hukum dan pemerintahan, hal ini menunjukkan di negeri ini tidak ada diskriminatif  berdasarkan gender.
Perempuan sebagai warga negara mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki di segala bidang kehidupan bangsa dan segenap kegiatan pembangunan. Namun demikian perlu diingat bahwa partisipasi dan sumbangan terhadap pembangunan bangsa harus sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya sebagai perempuan.
Harus diakui bahwa keberadaan perempuan dalam kancah politik di Indonesia pada saat ini belum signifikan. Perempuan dalam gerakan politik di Indonesia tidak begitu terdengar gaungnya, hal inilah yang menjadikan kaum perempuan seolah-olah “dimarjinalkan” dalam bidang politik. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah antusiaisme perempuan dalam bidang politik relatif sangat rendah, hal ini terlihat dari belum sepenuhnya terpenuhi kuota 30% perempuan yang duduk di lembaga legislatif utamanya di tingkat propinsi dan kabupaten ataupun pada lembaga-lembaga Negara lainnya. Padahal seperti kita ketahui bersama, penduduk Indonesia relatif lebih banyak wanita dibandingkan dengan kaum laki-laki.
Masih sedikitnya jumlah kaum perempuan yang terjun dalam kancah politik menjadikan kepentingan kaum perempuan seringkali tidak tersuarakan. Hal ini menjadikan perempuan “seolah-olah” penduduk kelas kelas dua di negeri yang sedang belajar berdemokrasi (Indonesia). Pemahaman yang keliru tentang konsep politik merupakan salah satu sebab kurangnya partisipasi politik oleh kaum perempuan.
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa kedudukan perempuan dalam bidang politik masih relatif sangat lemah. Perempuan-perempuan Indonesia mayoritas masih cenderung menjadi obyek politik, daripada menjadi subyek politik. Oleh karena itu meskipun secara teori tidak ada diskriminatif gender dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk didalamnya dalam hal berpolitik, tetapi kenyataannya kaum laki-laki masih relatif dominan dalam kehidupan politik dibandingkan dengan perempuan.
B.   Pemberdayaan Perempuan Dalam Bidang Politik.
Pada saat ini harus diakui meskipun emasipasi perempuan telah dibuka lebar, tetapi masih ada ketidakberdayaan (empowering) perempuan khususnya dalam bidang politik. Hal ini terkait erat dengan kedudukan perempuan dalam masyarakat tradisional, dimana perempuan ditempatkan untuk mengelola urusan-urusan keluarga, atau sebagai pekerja untuk menghasilkan sesuatu yang produktif. Dengan demikian perempuan bukan penentu keputusan untuk menghasilkan sesuatu, dengan kata lain perempuan bukan sebagai subyek tetapi hanya sekedar sebagai obyek atau pelaksana (Humaini, 1993).
Dalam konteks yang lain perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, maka apabila ingin meluruskan jangan menggunakan kekerasan (paksa) karena akan patah tetapi kalau dibiarkan akan tetap bengkok. Oleh karena itu untuk meluruskan perempuan harus dengan wasiat (petuah-petuah) yang baik (disarikan dari Hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah R.A.).
Dengan demikian perempuan merupakan makhluk yang perlu dijaga dan dilindungi, hal ini dikarenakan perempuan memiliki berbagai sifat yang menjadi kelemahannya, yaitu; hidup dengan perasaan, tidak senang blak-blakan, lebih menyukai harta, suka bertipu daya, dan senang dirayu (Asror, M., 1983). Sisi kelemahan lainnya dari perempuan menurut S.C., Utami Munandar (1993) adalah:
  1. Memiliki sifat inferior, dan tidak berani mengambil inisiatif apalagi mengambil keputusan yang menentukan.
  2. Lebih emosional dan kurang berfikir secara rasional.
  3. Menghendaki cinta orang lain hanya untuk dirinya, tanpa memperhatikan kepentingan orang lain.
  4. Menginginkan atensi, afeksi dan kasih saying dari orang lain.
Melihat kenyataan yang didasarkan teori dan pendapat dari para pakar tersebut, maka sangat penting adanya upaya-upaya untuk memberdayakan perempuan dalam bidang politik agar kaum perempuan dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan politik. Dalam dimensi politik pemberdayaan menyangkut proses peningkatan kesadaran perempuan akan kemampuan mereka, akan hak dan kewajibannya, dan mampu menggunakan kemampuan dan pengetahuannya untuk mengorganisasikan diri mereka sendiri. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memberdayakan perempuan dalam bidang politik, adalah sebagai berikut:
  1. Melibatkan kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam proses pengabilan keputusan pada tingkat lokal. Banyak upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah lokal untuk melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini bisa dilihat dari pengikutsertaan masyarakat dalam program-program pembangunan pada tingkat kabupaten/kota, kecamatan maupun  sampai pada tingkat desa/ kelurahan. Namun pengikutsertaan perempuan dalam proses pengambilan keputusan tersebut masih bersifat semu, dimana peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan tersebut hanya sebuah pelengkap, sehingga keikutsertaan perempuan dalam proses pengambilan keputusan tersebut tidak mampu memasukkan agenda yang menjadi kepentingannya. Hal ini dikarenakan segala sesuatu yang berkaitan dengan perencanaan dan pelaksanaan program sudah disusun sedemikian rupa sehingga tinggal mengambil keputusan saja. Peran perempuan dalam hal ini hanya sebagai alat legitimasi terhadap program dan proyek yang telah disusun. Oleh karena itu kiranya masih perlu pelibatan perempuan secara nyata dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berperan secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program dan proyek sesuai dengan kebutuhan yang ada di masyarakat tersebut.
  2. Menggugah kaum perempuan dalam memilih kepemimpinan yang mempresentasikan kepentingannya pada tingkat lokal, regional maupun nasional. Secara filosofi dilaksanakannya pilihan presiden secara langsung, pilihan gubernur dan bupati secara langsung serta pemilihan kepala desa secara langsung membuka peluang bagi kaum perempuan untuk menggunakan hak yang sama dengan kaum laki-laki. Namun demikian tidak banyak perempuan yang menggunakan kesempatan untuk bisa duduk dalam jabatan politik. Hal ini dikarenakan arena politik yang begitu keras, penuh dengan intrik-intrik tertentu, strategi-strategi, bahkan kalau perlu denggunakan intimidasi dan violence (kekerasan), sehingga perempuan menganggap arena politik bukan tempat yang “aman” bagi dirinya. Oleh karena itu perlu dilakukan pendidikan politik kepada perempuan dalam rangka menggugah kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Dengan masih adanya sisa-sisa konsep politik yang bersifat paternalism mungkin akan sedikit berat, tetapi hal ini harus dilakukan untuk mewujudkan peran serta perempuan dalam bidang politik.
  3. Melibatkan kaum perempuan dalam membagi kekuasaan secara demokratis. Membagi kekuasaan secara demokratis mengandung pengertian bahwa penyelesaian masalah yang ada diletakkan pada tingkatan kekuasaan yang terdekat. Organisasi-organisasi yang ada diberi kebebasan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, termasuk organisasi kaum perempuan. Pemerintah tidak perlu mencampuri masalah intern organisasi selama organisasi yang bersangkutan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Pemerintah hanya perlu memberikan support kepada organisasi-organisasi perempuan untuk bisa eksis dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat termasuk dalam pengambilan keputusan, karena pada dasarnya pengambilan keputusan merupakan kegiatan yang bersifat politis. 
  4. Melibatkan kaum perempuan dalam mengalokasikan sumber-sumber komunal secara adil. Sumber-sumber komunal yang ada harus dialokasikan secara adil, sehingga tidak ada yang memiliki hak-hak istimewa dan yang dimarjinalkan untuk menikmati sumber-sumber komunal yang ada. Oleh karena itu tidak boleh ada diskriminasi antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki dalam pengalokasian sumber-sumber komunal. Disinilah satu makna yang mencerminkan terwujudnya emansipasi perempuan.
C.   Politik Perempuan: Transformasi menuju partisipasi politik.
Peran kaum perempuan dalam bidang politik dimulai dengan munculnya gerakan-gerakan perempuan di berbagai Negara sekitar awal abad ke-20. Di Indonesia gerakan perempuan berawal sejak kartini mencetuskan gagasan tentang sekolah bagi anak perempuan. Gerakan kemudian berkembang dalam bentuk berdirinya organisasi-organisasi perempuan pada masa kolonial, masa sesudah kemerdekaan hingga sekarang. Organisasi-organisasi perempuan seperti Wanito Oetomo, Aisyiah, Isteri Sedar, Gerwani, Perwari dan sebagainya merupakan wadah pergerakan perempuan di Indonesia. Kemudian pada saat ini berkembang gerakan perempuan yang domotori oleh kalangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perempuan dengan perjuangan seputar hak-hak reproduksi perempuan dan menentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Gerakan perempuan relatif jarang dikaji oleh pakar politik karena gerakan perempuan cenderung lebih bersifat gerakan sosial dan gerakan hak-hak asasi manusia, hal ini dikarenakan tuntutan kaum perempuan sering dinilai tidak memiliki dimensi politik sehingga gerakan perempuan tidak dilihat sebagi gerakan politik.
Karena kepentingan perempuan yang sangat beragam, maka isu yang diperjuangkan dalam gerakan perempuan juga bersifat hiterogen. Ada tiga tipa gerakan perempuan (Vargas, 1995), yaitu:
  1. Gerakan hak-hak asasi manusia, yaitu gerakan dari kelompok perempuan yang cenderung tidak memiliki pengalaman politik.
  2. Gerakan kelompok perempuan popular, gerakan ini memperjuangkan kelangsungan hidup keluarga-keluarga miskin di pemukiman kumuh perkotaan dan pemenuhan kebutuhan hidup yang mendasar oleh Negara.
  3. Gerakan kelompok feminis, mengorganisir tuntutan-tuntutan perempuan berbasis gender. Feminisme merupakan cara berfikir yang diciptakan dan atas nama perempuan yang melahirkan keinginan aktif untuk mengubah posisi perempuan di masyarakat (Delmar, 1987). Gerakan feminisme merupakan gerakan sosial politik yang bertujuan untuk melenyapkan penindasan dan dominasi laki-laki terhadap perempuan (Farganis, 1994). Dalam jangka panjang gerakan kelompok feminisme bertujuan mengubah masyarakat agar lebih demokratis, mewujudkan masyarakat yang sadar politik, mensosialisasikan ekonomi dan mengakhiri diskriminasi rasial (Wieringa, 1999).
Menurut Wieringa (1999) keragaman isu dan bentuk gerakan perempuan tidak semestinya mengesampingkan kepentingan gender. Kepentingan gender harus dipandang dalam konteks proses pembentukan identitas dan penyadaran politik yang berkesinambungan. Oleh karenanya kepentingan gender perempuan meliputi berbagai unsur yang kompleks dan fleksibel yang didefinisikan dan diprioritaskan di tengah proses politik.
Proses tranformasi dari gerakan sosial menuju gerakan politik kaum perempuan tidak bisa berjalan dengan baik tanpa adanya dukungan faktor-faktor kunci. Banyak faktor kunci yang mendukung terjadinya transformasi menuju partisipasi politik kaum perempuan, diantaranya adalah:
1.    Iklim organisasi (pemerintahan) yang kondusif akan menentukan keberhasilan transformasi. Semakin kondusif iklim organisasi, semakin berhasil transformasi yang dilakukan. Iklim organisasi yang kondusif tercermin dari adanya arus komunikasi yang baik, dorongan, penghargaan dan sebagainya.
2.    Kepemimpinan yang baik akan mendukung terjadinya transformasi partisipasi politik perempuan. Ada empat perilaku pemimpin yang baik menurut Houser (dalam Mustam, 1989), yaitu 1) support (meningkatkan perasaan orang lain akan harga dirinya dan merasa dipentingkan), 2) interaction facilitation (memberi semangat sehingga tumbuh kerjasama yang kuat dan terbentuklah tim kerja yang solid), 3) goal emphasis (menunjukkan penampilan yang terbaik), 4) work facilitation (memberikan petunjuk tentang beberapa aktifitas penting)
3.    Transformasi menuju partisipasi politik perempuan akan berhasil apabila didukung oleh sikap kaum perempuan yang kondusif. Aktor utama transformasi partisipasi politik adalah kaum perempuan yang bertidak sebagai subjek yang akan berubah. Jadi, faktor sikap kaum perempuan yang mendukung untuk melaksanakan perubahan dari gerakan sosial menuju gerakan politik merupakan faktor yang penting.                                             
D.   Penutup
Pemberdayaan perempuan dalam bidang politik memiliki konsep, pengertian dan dimensi yang sangat luas. Sehingga pembahasan tentang pemberdayaan perempuan dalam bidang politik yang tertuang dalam beberapa lembar kertas ini tentunya tidak dapat mengungkap secara tuntas konsep, pengertian dan dimensi pemberdayaan perempuan dalam bidang politik.
Namun paling tidak  makalah ini bisa memberikan sedikit wacana tentang pemberdayaan perempuan dalam bidang politik. Akhirnya tidak ada  kata yang patut kami sampaikan selain rasa terima kasih kami kepada seluruh pihak yang telah memberikan dukungan bagi terlaksananya kegiatan pengabdian masyarakat ini.
Daftar Pustaka
Asror, M. (1983), Emansipasi Wanita, Thoha Putra, Semarang.

Delmar, Rosalind (1987), “What is Feminism? Dalam Juliet Mitchell dan Ann Oakley (ed), What is Feminism? , Basil Blackwell Ltd, Oxford.

Farganis, Sondra (1994), Situating Feminism: From Thought to Action, Sage Publication, Thousand Oak.

Humaini (1993), Karangan Khas, Suara Merdeka, Semarang.

Munandar, S.C. Utami (ed) (1985), Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia, Suatu Tinjauan Psikologis, UI Pres, Jakarta.

Mustam, Muhammad (1989), Pengembangan Kepuasan Kerja, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tjokrowinoto, Mulyarto. (2000). Konsep Pemberdayaan Masyarakat, Makalah Seminar.

Vargas, Virginia (1995), “Women’s Movement in Peru: Rebellion into Action” Dalam Saskia Wieringa (ed), Subversive Women, Zed Books, London.

Wieringa, Saskia Eleonara (1999). Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia (terjemahan Hersri Setiawan), Garba Budaya, Jakarta.